Cinta Berbeda di Tengah Dunia (A Love Between Worlds)

Jasmine Eleanor adalah sosok yang selalu dipenuhi energi positif. Sebagai anggota OSIS di sekolahnya, ia dikenal karena senyumnya yang cerah dan kebaikan hatinya. Setiap pagi, ia menyapa guru dan teman-temannya dengan penuh semangat.

Di sisi lain, ada Martin Gabriel, murid nakal yang sering jadi sorotan guru-guru. Entah itu terlambat masuk kelas, bermain bola di lorong, atau tidur di belakang saat pelajaran, Martin selalu punya cara untuk membuat guru geleng-geleng kepala. Namun, meski nakal, Martin bukan anak yang jahat. Teman-temannya tahu dia punya hati yang baik.

Mereka berdua berasal dari dunia yang berbeda. Jasmine adalah murid teladan, sementara Martin adalah pembuat onar. Namun, takdir sering kali punya cara aneh untuk mempertemukan dua orang yang tak terduga.

Suatu hari, Jasmine sedang sibuk menempelkan poster acara sekolah di papan pengumuman. Martin, yang baru saja keluar dari ruang BK karena terlambat lagi, lewat di depannya.

“Martin, kamu seharusnya tidak terlambat terus, tahu!” tegur Jasmine sambil meliriknya.

Martin hanya menyeringai. “Ah, OSIS mulai ceramah lagi. Kamu ini serius banget, Jasmine. Hidup tuh santai aja.”

Jasmine mendengus, tapi dia tidak bisa menahan senyum kecil. Martin memang menyebalkan, tapi ada sesuatu yang menarik dari caranya berbicara.

Beberapa hari kemudian, saat Jasmine sibuk mempersiapkan acara sekolah, Martin tanpa sengaja melihatnya mengangkat kotak-kotak yang berat ke aula. Meski dikenal malas, Martin mendekat dan berkata, “Hei, butuh bantuan?”

Jasmine terkejut, tapi ia mengangguk. “Kalau kamu mau bantu, tentu saja.”

Itulah awal interaksi mereka. Meski Jasmine awalnya merasa terganggu dengan sikap santai Martin, lama-lama ia melihat sisi lain dari cowok itu. Martin ternyata suka membantu, meskipun ia tidak pernah menunjukkan itu di depan banyak orang.

Hari-hari berlalu, dan Jasmine mulai terbiasa dengan kehadiran Martin di sekitarnya. Setiap kali ada acara sekolah, Martin selalu muncul, entah untuk membantu atau sekadar mengganggunya dengan candaan.

“Jasmine, kamu tuh serius banget. Kapan terakhir kali kamu bersenang-senang?” tanya Martin suatu sore.

“Aku bersenang-senang, kok. Tapi tanggung jawab tetap nomor satu,” jawab Jasmine sambil tersenyum.

Martin terkekeh. “Kamu terlalu sempurna. Itu bikin orang kayak aku jadi penasaran.”

Perkataan Martin membuat pipi Jasmine sedikit memerah. Ia tidak tahu kapan tepatnya, tapi ia mulai merasa nyaman setiap kali berbicara dengan Martin.

Di sisi lain, Martin juga merasakan hal yang sama. Ia mulai menunggu-nunggu momen di mana ia bisa berbicara dengan Jasmine. Jasmine adalah orang pertama yang memperlakukannya dengan tulus, tanpa menghakimi.

Pada suatu hari, setelah acara sekolah selesai, Jasmine sedang duduk sendirian di taman sekolah. Martin menghampirinya dengan tangan penuh es krim.

“Untuk kamu,” katanya sambil menyerahkan satu es krim.

“Kenapa tiba-tiba jadi baik?” Jasmine bertanya sambil menerima es krim itu.

Martin duduk di sampingnya. “Aku nggak tahu. Mungkin karena aku suka lihat kamu tersenyum.”

Jasmine terdiam, merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Martin melanjutkan, “Jasmine, aku tahu aku bukan tipe cowok yang ideal. Tapi... aku nggak bisa bohong kalau aku suka sama kamu. Dan aku serius soal itu.”

Jasmine menatapnya dengan mata lebar. Ia tidak menyangka Martin akan mengatakannya langsung. Setelah beberapa detik, ia tersenyum dan menjawab, “Aku juga suka sama kamu, Martin. Tapi aku nggak mau kamu cuma bicara. Buktikan kalau kamu bisa berubah jadi lebih baik.”

Martin mengangguk dengan penuh semangat. “Kamu akan lihat. Aku bakal jadi cowok yang pantas buat kamu.”

Sejak hari itu, hubungan mereka mulai berubah. Martin perlahan-lahan menunjukkan usaha untuk menjadi lebih baik. Ia mulai datang tepat waktu, mengurangi kenakalannya, dan bahkan mencoba belajar lebih giat.

Jasmine tetap menjadi dirinya yang ceria, tapi sekarang ada seseorang yang selalu membuatnya tertawa lebih sering. Mereka sering belajar bersama, pergi ke misa mingguan, atau sekadar menghabiskan waktu di taman sekolah.

“Terima kasih sudah percaya sama aku,” kata Martin suatu hari saat mereka berjalan pulang bersama.

“Terima kasih juga sudah mau berubah,” jawab Jasmine sambil tersenyum.

Hubungan mereka bukanlah hubungan yang sempurna, tapi itu yang membuatnya indah. Di tengah perbedaan mereka, ada cinta yang tulus, penuh tawa, dan saling mendukung.

Di bawah langit senja, Jasmine dan Martin berjalan beriringan, siap menghadapi perjalanan baru dalam hidup mereka bersama. Mereka tahu, dengan cinta dan usaha, segalanya akan terasa lebih ringan.

[Bahasa Inggris]
Jasmine Eleanor was a beacon of positivity. As a member of the student council, she was known for her bright smile and kind heart. Every morning, she greeted her teachers and classmates with enthusiasm.

On the other side of the spectrum was Martin Gabriel, the school’s notorious troublemaker. Whether it was arriving late to class, kicking a ball through the hallway, or napping in the back row during lessons, Martin always found a way to make the teachers shake their heads. But despite his mischief, Martin wasn’t a bad kid. His friends knew he had a good heart.

They came from two different worlds, Jasmine, the model student, and Martin, the class rebel. Yet fate has a strange way of bringing opposites together.

One day, Jasmine was busy putting up posters for a school event on the announcement board. Martin had just walked out of the counseling room again, for being late.

“Martin, you really shouldn't be late all the time!” Jasmine scolded, glancing at him.

Martin just grinned. “Uh-oh, the student council is preaching again. You’re always so serious, Jasmine. Life’s better when you chill.”

Jasmine rolled her eyes, but couldn’t help the small smile tugging at her lips. Martin was annoying, but something about the way he talked intrigued her.

A few days later, as Jasmine was carrying heavy boxes into the school hall, Martin spotted her struggling. Though he was known for being lazy, he walked over.

“Hey, need a hand?”

Jasmine was surprised, but she nodded. “If you’re offering, sure.”

That was the start of their interaction. Though Jasmine was initially bothered by Martin’s laid back attitude, she slowly started seeing another side of him. He liked to help, he just didn’t show it in front of others.

Days passed, and Jasmine grew used to Martin’s presence. Whenever there was a school event, Martin would be there either to help or to tease her.

“Jasmine, you’re always so serious. When was the last time you had fun?” he asked one afternoon.

“I do have fun. But responsibilities come first,” she replied with a smile.

Martin chuckled. “You’re too perfect. Makes guys like me really curious.”

His words made Jasmine blush slightly. She wasn’t sure when it started, but she had grown comfortable around Martin.

Martin, on the other hand, found himself looking forward to every moment he could talk to Jasmine. She was the first person who treated him sincerely without judgment.

One day, after a school event had ended, Jasmine was sitting alone in the school garden. Martin approached with two ice creams in hand.

“For you,” he said, handing her one.

“Why the sudden kindness?” Jasmine asked as she took the ice cream.

Martin sat beside her. “I don’t know. Maybe because I like seeing you smile.”

Jasmine fell silent, feeling her heart beat a little faster. Then Martin continued, “Jasmine, I know I’m not the ideal guy. But... I can’t lie, I like you. And I mean it.”

Jasmine stared at him, wide-eyed. She didn’t expect him to say it so directly. After a moment, she smiled and said, “I like you too, Martin. But I don’t want just words. Show me that you can change for the better.”

Martin nodded with determination. “You’ll see. I’ll become someone worthy of you.”

From that day on, everything changed. Martin slowly began improving himself coming on time, causing less trouble, and even trying harder in class.

Jasmine remained her cheerful self, but now there was someone who made her laugh even more. They started studying together, attending Sunday Mass, or just spending time at the school garden.

“Thanks for believing in me,” Martin said one day as they walked home together.

“Thank you for trying to change,” Jasmine replied with a smile.

Their relationship wasn’t perfect, but that’s what made it beautiful. In the midst of their differences, there was a love that was sincere, full of laughter, and built on mutual support.

Under the twilight sky, Jasmine and Martin walked side by side, ready to face a new journey in life together. With love and effort, everything felt a little easier.

Komentar